Dalam Islam, talak adalah hak suami untuk menceraikan istri, yang diatur secara rinci dalam syariat. Berikut jenis-jenisnya:

a. Berdasarkan Keadaan Proses Talak:

  1. Talak Raj’i (Talak yang Dapat Dirujuk)
    • Definisi: Suami dapat kembali kepada istrinya selama masa iddah tanpa akad nikah baru.
    • Dasar Hukum:
      • QS. Al-Baqarah: 229:

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.”

  1. Konsekuensi:
    • Suami dapat rujuk selama masa iddah.
    • Jika masa iddah berakhir tanpa rujuk, maka talak menjadi bain (tidak dapat dirujuk).
  2. Talak Bain (Talak yang Tidak Dapat Dirujuk)
    • Definisi: Talak yang tidak memungkinkan rujuk kecuali dengan akad nikah baru.
    • Jenis Talak Bain:
      • Talak Bain Sughra: Talak sebelum hubungan suami istri terjadi, atau talak yang terjadi setelah masa iddah habis.
      • Talak Bain Kubra: Talak tiga kali (talak tiga). Suami tidak dapat menikahi istrinya kembali kecuali istri menikah dengan orang lain dan bercerai secara sah.
    • Dasar Hukum:
      • QS. Al-Baqarah: 230:

“Kemudian jika dia menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.”

  1. Konsekuensi:
    • Tidak ada hak rujuk.
    • Jika ingin kembali, harus dilakukan pernikahan baru (untuk talak bain sughra) atau memenuhi syarat nikah dengan orang lain (untuk talak bain kubra).

b. Berdasarkan Cara Penyampaian:

  1. Talak Sarih (Talak Jelas):
    • Ucapan talak secara eksplisit, seperti “Aku ceraikan kamu.”
    • Tidak memerlukan niat karena kata-katanya sudah jelas.
  2. Talak Kinayah (Talak Sindiran):
    • Menggunakan kata-kata sindiran yang bisa bermakna talak, seperti “Pergilah, aku tidak butuh kamu lagi.”
    • Memerlukan niat untuk memastikan status talak.

c. Berdasarkan Situasi dan Kondisi:

  1. Talak Sunnah:
    • Talak yang dilakukan sesuai dengan syariat, misalnya saat istri dalam keadaan suci dan tidak ada hubungan suami istri selama masa suci itu.
  2. Talak Bid’ah:
    • Talak yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai syariat, misalnya menceraikan istri saat haid atau dalam masa suci setelah hubungan suami istri.
    • Dasar Hukum: Talak bid’ah dilarang berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:

“Barang siapa menceraikan istrinya pada masa haid atau nifas, maka itu bukan cara yang dibenarkan.” (HR. Muslim).


Hukum Negara yang Mengatur tentang Talak

Di Indonesia, talak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

a. Dasar Hukum Negara:

  1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    • Pasal 39 ayat (1): Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
    • Pasal 39 ayat (2): Perceraian harus memiliki alasan kuat, misalnya perselisihan yang tidak dapat didamaikan.
  2. Kompilasi Hukum Islam (KHI):
    • Pasal 117: Talak adalah ikrar suami di depan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
    • Pasal 129: Setelah talak diucapkan, suami memiliki hak untuk rujuk selama masa iddah.

b. Proses Talak di Pengadilan Agama:

  1. Suami mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama.
  2. Pengadilan mengupayakan mediasi untuk mendamaikan kedua belah pihak.
  3. Jika mediasi gagal, suami mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang.
  4. Talak baru dianggap sah setelah ditetapkan oleh pengadilan.

Konsekuensi Talak

a. Dalam Hukum Islam:

  1. Hak Nafkah:
    • Suami wajib memberikan nafkah selama masa iddah (jika talak raj’i).
    • Jika talak bain, tidak ada kewajiban nafkah kecuali jika istri sedang hamil.
  2. Hak Asuh Anak (Hadhanah):
    • Anak yang belum mumayyiz (biasanya di bawah usia 7 tahun) diasuh oleh ibu, sedangkan ayah bertanggung jawab memberikan nafkah.
  3. Akibat terhadap Hubungan Suami-Istri:
    • Suami dan istri tidak boleh tinggal bersama setelah talak.
    • Untuk talak bain kubra, hubungan tidak dapat dilanjutkan kecuali dengan syarat-syarat tertentu.

b. Dalam Hukum Negara:

  1. Perceraian hanya sah setelah ada putusan dari Pengadilan Agama.
  2. Akta cerai dikeluarkan oleh pengadilan sebagai bukti resmi perceraian.
  3. Pembagian harta bersama diatur sesuai kesepakatan atau diputuskan oleh pengadilan.