Perbedaan Perkara Wanprestasi dan Penipuan

Salah satu pertanyaan mendasar yang sering diajukan oleh klien kepada seorang advokat adalah dapatkah perkara wanprestasi beubah menjadi timdak pidana penipuan ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut paling tidak kita bisa konstruksikan terlebih dahulu rumusan norma dalam KUHPerdata yang mengatur tentang wanprestasi serta rumusan norma dalam KUHPidana yang mengatur tentang penipuan.

Selanjutnya setelah ditemukan konstruksi normatif mengenai wanprestasi dan penipuan maka selanjutnya dielaborasi beberapa hal yang menjadi irisan antara perkara wanprestasi dan penipuan, irisan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menilai tentang pergeseran perkara perdata menjadi perkara pidana.

Wanprestasi atau ingkar janji merupakan kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji.

Pelanggaran hak-hak kontraktual menimbulkan kewajiban ganti rugi sebagai konsekuensi atas perbuatan wanprestasi sebagaimana diatur dalam pasal 1236 KHUPerdata (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 KUHPerdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).

Kemudian berkenaan dengan konsekuensi atas wanprestasi sebagaimana diatur dalam pasal 1243 KUHPerdata dinyatakan atas :

penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, apabila debitur (berhutang) setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.

Menurut Prof. Subekti, wanprestasi terdiri dari empat jenis :

tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Wanprestasi terjadi disebabkan karena adanya kesalahan, kelalaian dan kesengajaan.

Kesalahan dalam wanprestasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada si pembuat yaitu pembuat dapat menduga tentang akibatnya.

Suatu akibat dapat diduga atau tidak, untuk mengukur dugaan akibat itu dilihat dari unsur obyektif dan subyektif.

Obyektif, yaitu apabila kondisi normal akibat tersebut sudah dapat diduga, sedangkan unsur subyektif yaitu akibat yang diduga menurut penilaian seorang ahli.

Kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu kesalahan dalam arti luas yang meliputi unsur kesengajaan dan kelalaian dalam arti sempit yang menyangkut kelalaian saja.

Kesengajaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki.

Untuk menentukan unsur kelalaian atau kealpaan diperlukan pembuktian karena beberapa hal tidak diatur dalam sebuah perjanjian dengan tepat mengenai pemenuhan prestasi.

Tindak pidana penipuan diatur dalam pasal 378 KUHPidana, terdapat dua unsur pokok dari tindak pidana penipuan yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.

Unsur obyektif yaitu membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/penggerak : memakai nama palsu, martabat/keadaan palsu, rangkaian kata bohong/tipu muslihat, menyerahkan sesuatu barang, membuat utang, menghapuskan piutang.

Sedangkan unsur subyektif dalam tindak pidana penipuan yakni dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.

Kesengajaan (dolus) dari rumusan kesalahan (schuld) tersebut merupakan suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus) tidak dalam bentuk kealpaan (culpa).

Konsepsi dasar tentang penipuan dalam pasal 1328 KUHPerdata secara substantif memiliki kesamaan dengan konsepsi dalam pasal 378 KUHPidana.

Konsepsi penipuan dalam pasal 1328 KUHPerdata yakni adanya cacat kehendak.

Cacat kehendak diakibatkan adanya suatu kekhilafan/ kelalaian, paksaan dan penipuan.

Sedangkan konsepsi penipuan dalam pasal 378 KUHPidana yaitu adanya rangkaian kata bohong, tipu muslihat, keadaan palsu, martabat palsu.

Konsekuensinya, penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian apabila ada tipu muslihat dalam proses perikatan sedangkan penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Karakteristik wanprestasi dan penipuan memiliki kesamaan yakni sama-sama didahului dengan hubungan hukum kontraktual.

Ketika kontrak ditutup diketahui sebelumnya ada tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong oleh salah satu pihak, maka hubungan hukum tersebut dinamakan penipuan dalam konteks pasal 378 KUHPidana (penipuan) dan pasal 1328 KUHPerdata (cacat kehendak).

Perbedaan mendasar antara perkara wanprestasi dengan tindak pidana penipuan terletak pada niat baik diantara para pihak.

Itikad baik tersebut dituangkan dalam perjanjian saling menguntungkan baik yang dibuat secara akta nota riil maupun di bawah tangan.

Sejak dari awal dapat dilihat mengenai motivasi para pihak untuk bekerja sama, dalam tindak pidana penipuan sejak awal sudah dilandasi oleh niat jahat atau melakukan kejahatan.

Dalam rangka memperoleh keuntungan dilakukan dengan cara melakukan tipu daya seolah-olah benar atau secara melawan hukum, sehingga orang lain menderita kerugian materiil maupun immaterial.

Batas pembeda antara wanprestasi dan penipuan terletak pada tempus delicti ketika kontrak itu ditutup/ditandatangani.

Apabila setelah (post factum) kontrak ditutup, diketahui adanya tipu muslihat, keadaan palsu atau rangkaian kata bohong dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan wanprestasi.

Namun suatu kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata sebelumnya (ante factum) ada rangkaian kata bohong, keadaan palsu, tipu muslihat dari salah satu pihak maka perbuatan itu merupakan perbuatan penipuan.